Bumilangit Logo
NEWSNEWSNEWSNEWSNEWS

Indonesia Punya Jawaban buat Marvel Cinematic Universe

MEDIA RELEASE | 20 Mei 2025

Indonesia has an answer to the Marvel Cinematic Universe, _.jpg

Semua orang di Hollywood berlomba-lomba ingin punya “Marvel Cinematic Universe” versi mereka sendiri. Tapi dari pendekatan DC Comics yang masih naik-turun, sampai Dark Universe yang gagal total, belum ada yang benar-benar berhasil menangkap lagi keajaiban ala Marvel. Nah, sekarang mungkin muncul pesaingnya—dari tempat yang nggak disangka-sangka: Indonesia, lewat Bumilangit Cinematic Universe (BCU) yang diangkat dari jajaran karakter komik lokal milik Bumilangit, yang jumlahnya lebih dari seribu!

Apakah BCU bisa terus jalan dengan delapan (!) film yang udah diumumin buat enam tahun ke depan? Belum tahu juga. Tapi yang jelas, mereka punya semangat dan bakat besar buat jadi alternatif serius dari Marvel. Dan kalau lihat Gundala—film pertama di semesta ini—BCU punya potensi sebagai opsi dengan koreografi pertarungan yang lebih keren dan mitologi yang berakar dalam pada sejarah dan legenda Asia Tenggara.

Indonesia sendiri punya sejarah panjang soal komik, mulai dari cerita rakyat dan kisah-kisah kepahlawanan yang udah muncul sejak tahun 1950-an. Masuk ke era 1980-an, dunia komik lokal meledak, dengan genre seperti komik remaja, silat, sampai superhero yang laris banget. Sayangnya, keterbatasan dalam penerjemahan bikin komik-komik ini susah menembus pasar yang lebih luas. Gundala sendiri pertama muncul di komik tahun 1969 sebagai ilmuwan yang punya kekuatan petir—hanya berselang tujuh tahun setelah Thor muncul di Marvel Comics.

Di balik semua ini ada Bismarka Kurniawan, lulusan teknik dari Cornell University yang ternyata sejak lama cinta banget sama komik. Tahun 2003, dia mulai ngumpulin hak cipta dari berbagai karakter komik populer di Indonesia, merapikan hak kekayaan intelektualnya, dan mendigitalkan komik-komik jadul yang udah rapuh. Dari situlah lahir Bumilangit Entertainment, yang sekarang punya lebih dari 1.000 karakter dan menerbitkan puluhan seri komik setiap tahunnya. Waktu diwawancarai oleh Polygon di Toronto International Film Festival 2019, Kurniawan bilang awalnya dia cuma pengin ngumpulin sebanyak mungkin karakter, lalu coba-coba jual merchandise. Film belum kepikiran.

Tapi industri film Indonesia lagi naik daun. Pemicunya? Keputusan Presiden Jokowi tahun 2015 yang membuka pintu investasi asing di dunia perfilman. Dampaknya luar biasa—bioskop makin banyak, jumlah penonton naik, dan produksi film pun meningkat drastis. Menurut Bloomberg, dalam tiga tahun terakhir aja, rata-rata dua layar bioskop baru dibuka setiap harinya. “Begitu Pak Jokowi umumkan itu, saya langsung bilang, ‘Kita harus mulai bikin film sekarang,’” kata Kurniawan setelah pemutaran Gundala di TIFF. “Kami pengin ikut gelombang besar ini.”

Bikin orang tertarik sama film tentang salah satu pahlawan super paling terkenal di Indonesia sih bukan hal sulit. “Sejak awal kami udah mikir ini bukan cuma satu film. Setelah Iron Man, kami butuh versi kami sendiri—pahlawan yang bisa jadi pemersatu tim. Buat kami, itu adalah Gundala,” ujar Kurniawan. “Begitu kami umumkan filmnya, langsung banyak fan art dan lagu bermunculan. Bahkan kami sempat bikin album lagu-lagu karya fans, dan ini jadi film pertama yang punya sistem pre-sale tiket di Indonesia.”

Walau skala produksinya cukup besar untuk ukuran film Indonesia, proses syuting Gundala tetap seperti film indie: padat dan cepat. Sutradara Joko Anwar cerita kalau mereka syuting di lima kota dan 70 lokasi hanya dalam 50 hari. Adegan laga? Latihan sekali, ambil gambar sekali. Langsung jadi.

Tapi hasil akhirnya jauh dari kesan ‘terburu-buru’. Gundala rasanya kayak nonton seluruh trilogi Batman versi Christopher Nolan dalam waktu kurang dari dua jam—ada kisah asal-usul, konflik pribadi yang menguji karakter, dan akhir yang memperlihatkan rakyat bangkit melawan ancaman besar.

Ambisius? Banget. Agak padat? Jelas. Tapi tetap bikin kagum, apalagi kalau tahu ini semua dibuat di Indonesia. Joko dan timnya mengembangkan ulang cerita Gundala dari versi komik dan film tahun 1981, jadi lebih relevan dengan kondisi sosial Indonesia sekarang. Kali ini, Gundala digambarkan sebagai anak yatim dari seorang aktivis buruh yang melawan politisi korup. Musik filmnya pun terasa megah, mirip gaya Hans Zimmer. Dan koreografi pertarungan dari Cecep Arif Rahman? Keren banget—intens, mengalir, dan memukau.

Meski baru tayang beberapa minggu, Kurniawan dan Joko udah tancap gas buat produksi delapan film BCU berikutnya. “Kami sengaja ngumpulin semua aktor dan sineas papan atas Indonesia,” kata Kurniawan. “Biar orang tahu, kita juga bisa bikin universe superhero yang besar di negeri sendiri. Dan antusiasme penonton terhadap karakter-karakter ini luar biasa.”

Setelah Gundala, Joko Anwar jadi semacam “Kevin Feige”-nya BCU. Dialah yang mengarahkan seluruh “Fase 1” dari semesta ini.

“Dia pendongeng terbaik di negeri ini,” puji Kurniawan. “Detail yang dia masukin ke setiap karakter luar biasa. Bahkan untuk tokoh figuran pun, Joko bikin biodata lengkap—tanggal lahir, sekolah, sampai alur karakter.” Film selanjutnya adalah Si Buta dari Gua Hantu, disutradarai oleh Timo Tjahjanto (The Night Comes for Us). Timo nggak cuma ngarahin film ini, tapi juga akan jadi otak di balik semua adegan laga di film-film selanjutnya, melatih para aktor, dan merancang gaya bertarung tiap pahlawan. Kalau kamu pernah nonton The Night Comes for Us, kamu pasti tahu ini kabar baik.

Kurniawan yakin BCU punya potensi jadi fenomena global. Tapi untuk sekarang, fokusnya tetap di pasar lokal. Setiap film disesuaikan sama penonton Indonesia yang udah nunggu. “Ada sesuatu yang khas banget dari Asia Tenggara yang membentuk para pahlawan ini—sesuatu yang terhubung sama geografi dan budaya kita. Makanya penjahat utama di Gundala terasa penuh mistik. Di semesta ini nggak ada alien atau teknologi luar angkasa. Semua kekuatan para pahlawan berakar dari legenda dan mitologi lokal, jadi sangat membumi dan lekat dengan sejarah serta budaya kita.” BCU adalah taruhan besar buat Kurniawan. Timnya udah nulis naskah sekuel bahkan sebelum prekuelnya dibuat. Mereka juga bikin dunia yang saling terhubung tanpa tahu apakah film pertama sukses atau nggak. Tahun depan, empat film baru dari BCU akan mulai diproduksi, dan dua di antaranya akan tayang di tengah tren “kejenuhan film superhero.” Tapi Kurniawan santai aja. Dia mainnya jangka panjang.

“Ada film yang nanti pasti sukses,” katanya dengan semangat ke Polygon. “Ada juga yang mungkin kurang berhasil. Tapi kita harus sabar nunggu semua karakter berkembang, sampai akhirnya bisa bikin momen pertemuan besar di akhir fase satu. Dari situ kita lanjut bangun semestanya.”

RAKYAT BUMILANGIT

DAPATKAN INFORMASI & PROGRAM EKSKLUSIF

Jadilah bagian dari komunitas Rakyat Bumilangit yang terus berkembang! Kami mengundang Anda untuk terhubung dengan sesama penggemar, kreator, dan penggemar.

GABUNG